Laman

Kamis, 31 Januari 2013

Normalisasi sungai Juwana Bermasalah

PATI  - Proyek normalisasi Sungai Juwana disinyalir bermasalah. Selain dinilai terlalu mahal, proyek itu juga tidak memiliki konsep jelas yang bisa diterapkan saat pengerjaan ataupun setelahnya.

Dari pemantauan dan penyusuran alur sungai, Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) Indonesia (YSI) mengindikasikan adanya ketakberesan pelaksanaan proyek. Mengingat, untuk menormalisasi satu kilometer alur dibutuhkan dana sekitar Rp 2,3 miliar.
Angka ini didapat atas asumsi perbandingan antara total biaya yang sudah digunakan untuk normalisasi baik yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juwana maupun Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pati, yaitu sebesar Rp 60.896.743.000 (2010-2012) dibagi panjang normalisasi 25,42 kilometer.

"Dari pengamatan kami di lapangan, panjang sungai yang dinormalisasi sejak 2010 hingga 2012 adalah 25,42 kilometer. Kami menghitung kumulatif karena normalisasi dialokasikan dari tiga tahun anggaran (2010, 2011, 2012)," ujarnya, kemarin.

Dalam pemantauan, YSI menggunakan perahu nelayan menyusuri Sungai Juwana dengan menggunakan global positioning system (GPS). Alat ini untuk mengukur panjang sungai yang dinormalisasi dan menentukan titik koordinat lokasi-lokasi normalisasi yang bermasalah.
Proyek ini juga dinilai asal-asalan karena ada alur yang bertanggul dan tidak. Bahkan, pelaksanaan normalisasi pun mengabaikan kepentingan masyarakat yang tergusur.

Kehilangan Rumah

Saat ini ada tidak kurang 25 keluarga dari Desa Bumirejo, Doropayung dan sejumlah desa lain di Kecamatan Juwana yang kehilangan rumah dan harus mengungsi. Sebagian dari mereka membuat tenda di punden desa dan menginap di bangunan sekolah.

"Di samping itu, sampai proyek normalisasi berakhir pada 2012, masih banyak sisa tanah hasil normalisasi yang menutup aliran anak sungai dan lahan pertanian milik masyarakat. Ini tidak pernah diperhatikan dan dibiarkan begitu saja," paparnya.

Selain itu, pihak terkait juga dinilai enggan menyosialisasikan aturan tentang peruntukan tanggul. Dengan demikian setelah dinormalisasi, hampir 65% tangul ditanami masyarakat sekitar, seperti pohon pisang, kacang panjang, jagung, rumput gajah yang berkemungkinan merusak tanggul," paparnya.

Terkait temuan itu, YSI melaporkan ke Unit Kerja Presiden tentang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Harapannya, instansi di bawah presiden itu turun ke lapangan untuk memeriksa.
"Kami berharap jika memang indikasi penyimpangannya kuat, bisa diproses sebagaimana mestinya. Karena dana APBN yang digelontor tidak sedikit atau secara kumulatif lebih dari Rp 60 miliar," tandasnya.
(suaramerdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar anda